Jumat, 18 November 2011

CERPEN : POJOK EKSEKUSI NGLANGON BAGIAN I


Panasnya terik matahari menyengat kulit kepala para pedagang di pasar nglangon, Sragen. Hiruk pikuk kesibukan orang mengadu nasib mencari nafkah untuk para istrinya di rumah. Suara adzan terdengar dari masjid belakang pom bensin yang baru. Sholat jumat pun dimulai. Para pedagang onderdil second sepeda motor pun berlarian menuju masjid itu. Sesaat itupun terdengar hening pasar itu, karena mereka melakukan kewajiban umat islam di dunia.
"Hebat kalian ! jangan biarkan lokasi kita di cap tempat maksiat selamanya"
"Tidak semua orang yang ada di sini, orang amoral, kita manusia" Gumamku dalam hati saat menunggu pesananku datang.
Sesaat hanya terdengar suara deru kendaraan, bis jurusan desa yang dengan nekatnya ugal-ugalan rebutan penumpang dari arah pasar nglangon. Dari arah barat truk, bis Solo-Sragen, bahkan bis Sumber Kencono yang dengan kencangnya melaju dari arah barat ke jurusan Surabaya.
"Surabaya, Surabaya, Ngawi... " Teriak Kernet bis Sumber Kencono yang tepat berhenti di sebelah timur perempatan besar nglangon city.
"Sukodono, Tangen, yo....yo..., angkat !" Teriak bis angkutan desa dibelakangnya.
Kerasnya kehidupan di nglangon, dari mulai pemilik kios, penyuplai barang, sampai pembeli onderdil sepeda motor second, bahkan gembel pun ada. 
"Mbak, ki lo uwes !" Sapa pedangang mie ayam favorit pasar itu, Mas sri Namanya.
"Ow geh mas, pinten ?" jawabku dengan sedikit kaget akan kekagumanku akan lingkungan di sini.
"Patang ewu wae, biasa yu ! lanjutnya.
Kedipan mata seolah terhenti, dada serasa berrdetak kencang, ketika kudengar orang bicara di belakangku.belum sempat kaki kuangkat dari tempat itu, dengan alasan masih menunggu orang. Kudengarkan apa yang mereka bicarakan.
"Suwe-suwe ngene ki, wong cilik ndang modar ! Kata seorang itu, yang akhirnya kuketahui Pak Sastro namanya.
Rasa penasaran yang bergejolak di dada ini seolah membuat ujung rambut sampai ujung kakiku kram saat itu.
"Apa maksudnya to buk?" Tanyaku pada pedangang buah yang magrok di pinggir jalan sebelah selatan itu. Pedagang buah yang cantik, di atas mobil pick upnya di jual dagangannya.
"gak sah didengerke mbak, nyat kayak gitu orang sini kalau bilang".
"Kasar semua mbak", jawabnya.
"Mbak Sri, bener nggak to kalau malem di sini buat ini itu?" tanyaku sama mbak Sri yang sudah hampir 20 tahun mangkal di jalan depan pom bensin ini.
"Yo piye yo mbak, aku ki gak reti nek malem ki piye, masalahe aku mangkal kene yo sampe jam papat tog." tandasnya padaku.
"wah, berarti salah no mbak, apa yang tak denger selama ini ? tanyaku lanjut, sambil membeli seikat anggur hijau padanya.
Beberapa saat tak kupedulikan keadaan disampingku, kutinggalkan tempat itu dengan perasaan rasa penasaran terbayarkan rasa puas. Kustater sepeda mioku, menuju arah pulang tempat kosku. Tempat mengadu nasib akan kehidupan baruku, setelah kutinggalkan delapan bulan rumah ibuku. Ndekos di tempat rawan pandangan dan curiga. Keteguhan hati akan kenekatan prinsip yang membuatku ada di tempat ini, tempat yang telah di scak mat mati oleh orang Sragen. Tapi kuyakin orang salah atas anggapan itu.
 ***
"Sesasi piro yu, ngontrak neng kene? Po ra sumpek to ? tanya bolot, tetangga kiosku.
"Hla kepiye meneh mas, kidol kono njalok mundak", jawabku lanjut.
"Po ra takut to yu neng kene dewe? tanyanya lagi.
"Gak mas, la gimana lagi ? jawabku kencang dari bilik triplek cat hijau bergambar putri malu itu.
"Niatku, pokoke aku neng kene bener, ora neko-neko kog mas !"
"Yo....yo... yu, kapan-kapan tak critani yu ! Lanjutnya sambil membunyikan alat catnya.
Sinar matahari mula menyingsing ke arah barat, terlihat warna merah memburat, Mbak kos sudah pada pulang dari tempat kerjanya, pabrik rokok Sampoerna, yang terkenal di kota Sragen. Teman-teman kos yang mengadu nasib dengan ijazah pas-pasan bekerja di tempat itu. berangkat pagi, pulang sore, dengan gaji yang cukup untuk beli beli beras seminggu. Bukan karena mereka tidak mau cari yang lain.Memang karena mereka cuma lulusan SD, SMP, bahkan ada yang tidak sekolah. Bukan mereka tidak ingin mencari hal yang lebih layak, tetapi karena memang hanya pabrik itu adalah tempat mengadu nasib mereka. Nafas mereka. Nyawa anak, suami mereka, bahkan nyawa mereka.
"Hallo, mbak !"sapa mbak Titik salah satu teman kos ku yang baru saja pulang dari pabrik.
Terlihat lesu, capek, pandangan matanya yang terlihat layu. 
"Wuih, gajian ki ? candaku padanya, karena aku tahu hari ini dia terima gaji mingguannya.
"Gajian opo to yu ? balasnya dengan nada lirih.
"Tak kandani yo yu, gajiku ki wes enek nggone. Buat beli pakan sapi neng ndeso, mbokku, adekku, dadine ki nek setu ki aku mung nompo tog ! Jawabnya lanjut.
"Seh mendeng, njenengan to mbak, wes guru, jek nyambi bukak kios ! balasnya, sambil duduk diteras  kios denganku.
Setelah mendengar kepolosannya kepadaku, ternyata aku masih merasa lebih beruntung. Baik secara status, keadaan, bahkan yang lain. Tapi terasa pahit saat mengingat semua. Seorang guru tidak tetap yayasan yang digaji berdasarkan jumlah jam mengajarnya, di sebuah sekolah swasta terbesar di Sragen. Dibawah naungan yayasan terbesar pula di Sragen. Di sekolah termewah di Sragen, jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang ada. Guru yang mengabdi selama hampir 7 tahun lamanya, merasa menang akan sebuah status "seorang guru" di masyarakat. Padahal jika mereka tahu kehidupan seorang guru GTT yayasan adalah hidup penuh perjuangan akan nasib dan masa depan. Entah karena harus manut aturan pemerintah atau entah karena permainan politik atasan yang memotong jatah guru damen seperti ini. Hanya perang batin dalam hati yang berkecamuk kencang, sekencang bis jurusan Surabaya yang melaju tanpa melihat kanan kiri.Jeritan hati seolah tak pernah didengar oleh pemerintah, hanya deru sertifikasi yang tak pasti. Kalau pemerintah tahu langkah mereka adalah keliru. Tidak semua orang yang dihasilkan dari sertifikasi adalah guru profesional, tetapi guru yang "aduhai".
"Kapan nasib kami difikirkan?"
"Akan kebenaran, keadilan, dan kepastian, angkatlah guru yang benar-benar profesional atas halnya ! bukan karena kelamaannya ! tuntutku dalam hati.
Rasa kesal yang tak pasti dan tak berujung ini, ada di dunia nyata. 
"Di Nglangonlah ku abdikan semuanya demi masa depan sebagai seorang guru sejati, walau selama nya pemerintah akan buta akan keberadaan kami" Desahku kalut.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar